Responsive Ad Slot

Latest

Menabung

Bisnis

Liburan

Featured Articles

Diet Gaya Hidup!

Tuesday 23 December 2014

" Diet Gaya Hidup!"

Diet Gaya Hidup
1.    Sejak kecil kita selalu dinasihati oleh orang tua kita agar hidup hemat, gunakan uang sesuai dengan kebutuhan.  Nah banyak yang menterjemahkan hidup hemat tersebut  dengan “sebisa mungkin jangan mengeluarkan uang” sehingga akhirnya bukan hemat tetapi menjadi pelit. Atau bisa jadi ada orang yang secara ekonomi berada tetapi mobilnya “hanya” 2 buah, lantas orang-orang sekitar mengatakan orang kaya tersebut pelit karena tidak mau menambah kendaraannya. Kelihatannya hampir tidak bisa dibedakan antara hemat dan pelit ya?

Ada perbedaan yang mendasar antara “Hemat” dan “Pelit”. Jika kita buka di Collins English Dictionary definisi  Cheapskate (Pelit) as “a miserly person” or “a stingy hoarder of money and possessions (often living miserably) yang diterjemahkan sebagai “Orang yang sengsara, penimbun uang dan harta benda (seringkali hidup menderita).
Sedangkan ” Frugal (Hemat) as “practicing economy, living without waste, thrifty” yang diterjemahkan “hidup ekonomis, tanpa pengeluaran yang tidak perlu, cermat”.
Bisa disimpulkan bahwa Orang Hemat mengatur hartanya dan Orang Pelit diatur oleh hartanya. Untuk lebih jelasnya berikut illustrasi mengenai perbedaan Hemat dan Pelit :
-    Harga dan Kualitas : orang Hemat tidak ragu membayar sedikit lebih mahal untuk mendapatkan barang yang berkualitas bagus dan mempertimbangkan apakah kualitas tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan orang Pelit yang dipedulikan adalah harga yang paling murah.
-    Kehidupan sosial : Orang hemat tetap aktif di kegiatan sosial seperti hang out dengan teman tetapi mungkin membatasi frekuensi dan tempatnya, ikut menyumbang dana di kegiatan lingkungan rumahnya, dll. Sedangkan orang Pelit tidak pernah mau ikut kegiatan jika harus mengeluarkan uang.

2.    Pertumbuhan ekonomi Negara memang ditunjang oleh kegiatan konsumsi penduduknya, tetapi di sisi lain gaya hidup penduduk yang sangat konsumtif tidak hanya merugikan individu itu sendiri tetapi ujung-ujungnya berpengaruh negative kepada kondisi ekonomi Negara pula.  Kok bisa begitu? Masyarakat konsumtif terbiasa membeli (konsumsi) bukan menjual  (Produksi), lebih suka barang import daripada buatan dalam negeri. Dampaknya adalah cadangan devisa berkurang karena harus membayar produk import, produksi dalam negeri tidak bergairah karena kurang diminati dan tidak dapat bersaing.

Kembali ke pertanyaan, agar hasrat konsumsi dapat ditekan sesuai dengan kemampuan, biasakan untuk  membelanjakan uang sesuai dengan kebutuhan bukan keinginan. Manusia butuh makan bukan makan di restoran, butuh pakaian bukan pakaian keluaran desainer. Untuk membantu perekonomian Negara, mulailah lebih banyak menggunakan produksi dalam negeri.  Secara kualitas tidak kalah kok dari barang import, tetapi dari segi harga bisa lebih hemat.

3.    Masyarakat kelas menengah di Indonesia saat ini berkembang pesat. Mereka umumnya berada dalam usia produktif. Kalangan ini  lah yang saat ini mendorong perekonomian Indonesia dengan pola hidupnya yang konsumtif. Dengan latar belakang pendidikan yang baik dan pendapatan yang cukup tinggi, maka kalangan ini pula yang sangat cepat menyerap trend-trend yang ada di dunia. Mulai dari gadget, fashion, mobil, dan gaya hidup lainnya. Kalangan ini pun berani untuk mengajukan pinjaman untuk membeli rumah dan apartemen agar sesuai dengan gaya hidupnya. 

Tidak ada salahnya membelanjakan uang kita untuk bersenang-senang, tetapi tetap harus diingat kita tidak akan seumur hidup bekerja, ada masanya kita harus pensiun dan tidak lagi mempunyai pendapatan  sebesar saat ini. Apalagi jika masa tua yang semestinya dilewati dengan tenang ternyata masih dibebani oleh kewajiban untuk membayar hutang.  Always save money  for a rainy day.

4.    Sepertinya saat ini terjadi pergeseran makna terhadap kata “Sosialita”. Definisi dari kaum sosialita adalah mereka yang terlahir kaya dan menggunakan kekayaannya itu untuk kegiatan yang bersifat sosial, seperti penggalangan dana dengan konser mudik, dinner party di hotel berbintang, dll.  Tetapi sekarang ini kita mengartikannya sebagai kaum yang aktif secara sosial dan diliput oleh media, mempunyai gaya hidup “tinggi” dan selalu terlihat menggunakan barang branded dan mewah.  Sedangkan “Social Climber” adalah orang yang mengikuti gaya hidup sosialita dan rela melakukan apa saja untuk masuk ke dalam lingkup pergaulan masyarakat golongan atas tersebut.

Memang miris melihat hal ini sementara masih banyak penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Mungkin akan lebih bermakna jika para sosialita tersebut menggunakan kekuatannya untuk menginspirasi dan berkonstribusi untuk masyarakat sebagai penggerak dalam kegiatan-kegiatan sosial / kemanusiaan sesuai dengan makna semula dari kata “sosialita”.

5.    Masalah keuangan tidak hanya dialami oleh kalangan tidak mampu, tetapi banyak juga orang yang mempunyai penghasilan tinggi tetapi tetap terjebak dalam hutang. Kita sering terdorong untuk membeli sesuatu dengan alasan tuntutan lingkungan. “teman-teman kantor sudah punya iPhone terbaru, masa saya masih pakai buatan China? Di arisan ada jualan tas branded boleh dicicil lagi, sayang kalau  tidak beli. Teman  kuliah  setiap minggu kumpul-kumpul di café, masa saya Cuma beli air putih?” dan masih banyak alasan-alasan lain yang mendorong seseorang menjadi konsumtif. Lalu bagaimana mengatasinya? Ada 3 tips yang  bisa digunakan :
-    Fokus pada fungsi bukan trend. 
-    Belanja sesuai kebutuhan bukan keinginan
-    Tentukan target dan batasan finansial

6.    (saya membahasnya dalam konteks ekonomi ya, karena sepertinya ini lebih cocok dibahas dalam konteks agama).

Ada beberapa dampak negatif dari sifat Boros, antara lain :
-    Orang  yang boros tidak mempunyai perencanaan keuangan,  baik untuk dirinya maupun keluarganya. 
-    Orang yang boros cenderung untuk mempunyai gaya hidup mewah yang tidak sesuai dengan kemampuannya, sehingga  sangat mudah terjerat hutang yang sulit untuk dilunasi.
-    Orang yang boros tidak mempunyai tabungan pada saat darurat atau pada masa tua, sehingga akan membebani keluarganya.

7.    Wanita di dalam rumah tangga masa kini tidak hanya sekadar menjadi sosok pengasuh, pendidik anak-anak serta mengurus suami dan rumah, tetapi juga juga harus berperan dalam pengelolaan keuangan keluarga. Mengelola keuangan dalam hal ini adalah  mengatur agar nafkah yang diberikan oleh suami dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari, dan tidak berlebihan. 

Memang harga-harga yang makin melambung saat ini makin menyulitkan  para ibu rumah tangga dalam mengatur pengeluaran dari nafkah yang diberikan. Oleh karena itu penting bagi kaum wanita untuk memiliki pengetahuan agar dapat mengatur keuangan. Berikut tips untuk mengelola anggaran rumah tangga :
-    Buat Anggaran : bagi menjadi beberapa alokasi  belanja, misalnya untuk kebutuhan dapur/makan, biaya sekolah anak, iuran listrik/pam/keamanan/telepon, gaji ART, dll
-    Menabung : sisihkan uang belanja yang  tersisa, dan masukkan  ke dalam tabungan darurat yang sewaktu-waktu dapat diambil
-    Berinvestasi : seorang wanita harus bisa mandiri dan tidak menggantungkan seluruhnya pada suami, jika nafkah yang diberikan tidak mencukupi, usahakan untuk menambah penghasilan. Gunakan sebagian penghasilan istri untuk berinvestasi sehingga dana bisa bertumbuh untuk kebutuhan masa depan.
-    Jangan boros : seorang istri  yang cerdas dan cermat akan menggunakan uang secara optimal dan tidak berlebihan, dan mampu  mengelola aset yang sudah dimiliki dan terus mengasah kemampuan untuk membuat aset tersebut berkembang dan menjadi optimal sesuai tujuan finansial keluarga.


Don't Miss