Responsive Ad Slot

Latest

Menabung

Bisnis

Liburan

Featured Articles

Bangkit Dari Kebangkrutan

Tuesday, 6 January 2015

"Bangkit dari kebangkrutan"

Bangkit Dari Kebangkrutan
Apa arti uang Rp 100 ribu untuk anda? Isi pulsa, sepasang sepatu, sebuah baju batik yang sedang in, sepiring makan siang di sebuah hotel bintang lima atau Bantuan Langsung Tunai yang sedang di gelar pemerintah? Bagaimana cara orang mengartikan uang berbeda-beda, tergantung dari persepsinya mengenai uang itu sendiri. Pengalaman hidup, cara kita dibesarkan, tingkat pendidikan, tingkat kebutuhan, dan banyak lagi faktor lainnya.

Barang kali pengumuman kenaikan harga BBM sebesar 28,7% yang diikuti kenaikan berbagai kebutuhan pokok antara Rp 1.000 – Rp 10.000 per kg, akan menyatukan persepsi kita tentang uang. Paling tidak kenaikan harga-harga telah mendewasakan kita. Bahkan seakan belum cukup para pedagang komoditas lainnya juga sedang ancang-ancang untuk menaikkan harga karena ongkos transportasi angkutan pasti naik. Kalau sudah begini bisanya suku bunga pinjaman bank juga ikut-ikutan naik. Kita tak ubahnya bonsai di pangkas sana sini sampai kerdil. Bisa-bisa kita bangkrut karenanya.

Ratio Hutang Terhadap Asset

Kondisi bangkrut akan sangat terkait dengan kemampuan seseorang atau sebuah keluarga dalam menjamin pembayaran pinjamannya. Kebangkrutan itu secara sederhana adalah ketika jumlah total kewajiban anda lebih besar dari pada jumlah total harta anda. Akibatnya jumlah harta yang ada tidak lagi cukup untuk mengcover jumlah hutang. Hal ini dapat dihitung dengan menggunakan ratio hutang dibandingkan harta atau debt to asset ratio. Angka ratio semakain kecil menunjukkan tingkat coverage harta terhadap kewajiban hutang semakin baik. Angka ratio semakin besar menunjukan tingkat coverage harta terhadap hutang semakin lemah. Angka ratio = 0, berarti tidak ada kewajiban hutang yang harus di cover oleh harta. Sementara angka ratio lebih besar dari > 1, menunjukkan jumlah hutang lebih besar dari harta, dalam kondisi seperti ini sesesorang atau sebuah keluarga bisa dikatakan bangkrut alias jatuh miskin. Nah, ketika persepsi tentang uang memiliki arti yang berbeda untuk tiap orang maka demikian juga dengan kebangkrutan atau kemiskinan itu sendiri

Pertanyaannya, mengapa ratio hutang sebuah keluarga bisa lebih besar dari satu? Benarkah kita bisa bangkrut karena kenaikan harga-harga ini?

Kebangkrutan = Kemiskinan?

Kenaikan harga-harga sudah pasti  membuat daya beli semakin menurun. Jika sebuah keluarga ingin tetap menjaga tingkat konsumsinya seperti semula, dengan kata lain menjalankan gaya hidup yang sama, maka pengeluarannya akan bertambah besar. Kondisi ini diperparah manakala tidak ada peningkatan pemasukan, akibatnya terjadi perebutan prioritas di antara berbagai pengeluaran rumah tangga. Hal ini dapat mengancam kelancaran pembayaran cicilan hutang, sebab penghasilanya yang ada terpaksa di alokasikan lebih banyak untuk pengeluaran biaya hidup. Nah, bagaimana jika suku bunga pinjaman ikut naik, tentunya beban cicilan hutang juga bertambah besar. Keluarga pun akan semakin dihadapkan kepada pilihan sulit antara membayar kewajiban hutang yang membengkak atau menjaga tingkat konsumsi.

Kalangan warga kelas bawah seperti buruh mungkin tidak mengenal kata bangkrut tetapi miskin. Kenaikan harga-harga bisa menjadikan hidup mereka makin terpuruk. Sebab tingkat konsumsi yang dimaksud adalah sebatas menjaga kebutuhan hidup minimal. Bahkan untuk pengambilan hutang sekalipun, diambil untuk memenuhi kebutuhan minimal ini. Faktanya upah buruh memang masih rendah sehingga sulit bertahan manakala harga-harga kebutuhan hidup melonjak seperti sekarang ini. Namun kenaikan upahpun harus diringi dengan kemampuan mengelola penghasilannya agar cukup untuk hidup bersama keluarga. Artinya harus mengesampingkan pola hidup konsumtif dan berusaha untuk mengalokasikan penghasilan mereka untuk kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan, menabung serta pembayaran cicilan hutang.

Kebangkrutan = Hutang > Harta

Seiring dengan ajakan pemerintah untuk mengencangkan ikat pinggang, semakin gencar pula para produsen bersaing melalui pemasaran yang bombastik. Bayangkan saja sebuah kartu kredit menawarkan program ”Diskon 50% untuk makan di restauran X”. Sementara satu set dapur branded bisa anda dapatkan jika membeli sebuah apartemen yang ditawarkan salah satu pengembang. ” Kenapa tidak” toh tidak perlu uang tunai, anda kan bisa meminjam dan mencicilnya dari penghasilan anda. Perilaku seperti inilah yang menjadi penyebab kebangkrutan. Tanpa sadar kita terseret realitas sosial dan konsumsi kita sendiri. Dimana penggunaan uang tidak lagi bertumpu pada biaya, nilai guna dan hasil, tetapi di ”bonsai” kan menjadi identitas diri dari apa yang kita beli dan konsumsi.

Akibatnya kita under estimated terhadap kewajiban hutang dan overappreciated akan kemampuan membayarnya kembali. Sedihnya, hutang yang diambil tidak selalu konsumtif bahkan dimaksudkan untuk tujuan baik dan  produktif.” Kalau enggak ngutang enggak bisa punya apa-apa” begitu alasannya. Justru karena alasan itulah orang merasa di perkenankan menjadi over confidence. Mereka yakin bisa hidup dengan sisa hanya 30%-40% dari penghasilan mereka, bahkan lebih kecil dari itu, agar sebagian lebih besar dari penghasilan dapat dialokasikan untuk membayar cicilan hutang. Ini terjadi hampir di segala lapisan masyarakat. Ketika badai kenaikan harga-harga melanda, sisa penghasilan pun makin tidak berarti, sementara gaya hidup harus tetap dijaga. Disinilah awal kebangkrutan di mulai.

Berubah!

Sinyal-sinyal kebangkrutan mudah dideteksi. Tidak perlu menunggu anda batuk-batuk dulu dalam membayar cicilan hutang. Perhatikan saja apakah masih cukup nyaman buat anda menabung tanpa kepayahan membayar pengeluaran lainnya secara signifikan. Jika kondisinya lebih buruk dari ini, maka anda benar-benar harus melakukan rasionalisasi anggaran rumah tangga. Disini penghematan sampai pemangkasan pos-pos pengeluaran adalah langkah-langkah efektif yang harus segera dijalankan.

Hanya jika anda bangkrut (anda bisa mengukurnya dari ratio hutang terhadap harta), maka anda harus melakukan hal utama selain rasionalisasi anggaran adalah melakukan perubahan. Karena anda tidak akan bisa mendapatkan hasil yang berbeda jika terus saja berpikir dan melakukan hal yang sama tentang uang. Itu bisa jadi kesalahan besar, maka berubahlah!



Don't Miss